Rabu, 09 September 2009

Kisah dari Negeri Bebek


Suara ”kwek-kwek-kwek” ratusan bebek terdengar berirama di kandang milik pasangan Rawud (45) dan Suranti (38), seperti tak sabar menunggu jatah makan. Rawud masih memilah-milah ikan rucah untuk digiling, sedangkan Suranti asyik merajang kangkung. Ditambah campuran nasi aking dan bekatul, lengkap sudah adonan untuk pakan bebek-bebek mereka.
Kandang milik Rawud dan Suranti berisi 500 ekor bebek berumur di atas enam bulan yang siap bertelur. ”Yang 800 ekor sedang barah,” ujar Rawud, yang juga anggota Kelompok Tani Ternak Maju Jaya, warga Desa Limbangan, Brebes, Jawa Tengah.

Barah atau boro maksudnya adalah mengembara atau merantau untuk mencari makanan langsung dari alam. Bebek yang dibarahkan umumnya berusia satu hingga lima bulan. Setelah beberapa bulan barah, bebek pun dikandangkan. Cara ini dipandang lebih aman, terutama menjaga agar telur tidak dicuri.
Areal persawahan yang terbentang antara Indramayu (Jawa Barat) dan Pemalang (Jawa Tengah) menjadi lokasi kembara yang ideal. Para penggembala memanfaatkan waktu pascapanen padi untuk barah agar rerontokan gabah sisa panen dan bisa disantap bebek secara gratis. Bebek juga bisa mendapat tambahan vitamin dari cacing atau serangga sehingga jenis pakan lebih variatif.
Jika bebek dibarahkan, tutur peternak lain, Tasori (36), biaya pakan untuk 400 ekor bebeknya bisa ditekan hingga Rp 240.000 per hari. Untuk mengamankan bebek pada malam hari atau jika turun hujan, Tasori membangun kandang bertudung terpal di pinggir sawah.
Bulan April menjadi saat menggembirakan buat para peternak bebek karena panen padi belum lama berlalu. Harga pakan untuk bebek kandang pun sedang murah. ”Biasanya harga murah bertahan hingga Juni. Setelah itu, harga bekatul akan naik dari Rp 600 menjadi Rp 900 per kilogram. Ikan mulai susah dicari,” kata Darmono (51), peternak yang memiliki 4.000 bebek di Desa Pakijangan, Bulukamba, Brebes.
Tradisi barah
Saat ini hanya 10 persen dari populasi bebek di Brebes, sejumlah 877.000 ekor, yang benar-benar digembalakan. Artinya, peternak membiarkan telur-telur bergelindingan di sawah. ”Berarti hanya 90-an peternak dari total 900 orang,” kata Kepala Seksi Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Kabupaten Brebes Jhoni Murahman.
Padahal, dulu, menggembalakan bebek adalah bagian dari tradisi. Para peternak biasa mengembara dari Brebes hingga Rengasdengklok, Cikarang, bahkan Sumedang. Bebek-bebek diangkut dengan truk sampai di suatu persawahan saat pascapanen. Setelah sebulan atau lebih berkeliaran di sekitar daerah itu, bebek dipindahkan ke daerah lain. Begitu seterusnya, dan bisa sampai berbulan-bulan.
Soal bebek barah, Kasub Effendi (91), tokoh Desa Pakijangan, punya cerita menarik. Ia adalah generasi ketiga di keluarganya yang meneruskan usaha beternak bebek. Meski pendengarannya jauh berkurang, Kasub dengan lancar mengisahkan bagaimana ia menggiring ribuan bebeknya dari Brebes hingga Banten.
Dulu, jamak terjadi para peternak dirampok oleh begal atau garong saat sedang barah. Itulah mengapa hampir semua peternak piawai ilmu bela dirinya. Kasub muda dikenal sebagai jawara, peternak, dan petani kaya raya yang memiliki sawah 37 bau. Satu bau setara dengan 7.800 meter persegi.
”Pernah saat tidur di sawah menjaga bebek, ada orang mau merampok. Ternyata mereka itu teman-temanku sewaktu sama- sama dipenjara. Akhirnya, bebek-bebek saya malah dijaga sama bajingan-bajingan itu, ha-ha-ha,” ungkap Kasub. Sobari, ayah Kasub, dikenal sebagai peternak sekaligus jawara yang ulet. Ia bahkan berjalan kaki menggiring bebek-bebeknya hingga Indramayu. Ilmu bela dirinya sudah sangat mumpuni.
Pengalaman barah hingga ke berbagai kota di Jawa Barat sampai delapan bulan juga dialami Yanto (47), warga Pakijangan. ”Kasarnya, semua tempat di Jawa Barat sudah saya jajahi. Saya pernah dirampok beberapa kali,” kata peternak yang terpaksa putus sekolah karena diajak barah oleh ayahnya.
Sumber penghidupan
Bagi 900 peternak di Brebes, bebek adalah gantungan hidup. “Daripada jadi kuli,” kata Rawud, yang memulai usaha ternak bebek sejak sepuluh tahun lalu. Keduanya cukup senang bisa menyekolahkan tiga anaknya hingga tamat SMP. ”Rumah ya cukup besar. Sepeda motor ada dua. Amin kalau bisa beli mobil,” kata Suranti.
Penghasilan pasangan ini bisa dihitung seperti ini: 500 ekor bebek menghasilkan 300 butir telur sehari. Rawud dan Suranti menjualnya kepada pedagang Rp 1.025 per butir. Untuk pakan, dibutuhkan Rp 180.000 sehari. Berarti, keduanya bisa mengantongi Rp 127.500 per hari. Tambahan penghasilan akan didapat jika 800 ekor bebek yang masih digembalakan sudah siap bertelur.
Jumlah telur yang diperoleh per hari umumnya berkisar 50-80 persen dari jumlah bebek. Namun, kalau sedang naas lantaran sebagian bebek ngambek tak mau bertelur (misalnya kaget mendengar bunyi mercon), telur hanya bisa dihasilkan 40 persennya. Kalau dari 1.000 bebek, jumlah telur hanya 400 butir, misalnya.
Pasangan Kisnarto (36) dan Rumiah (29), anggota Adem Ayem, juga memiliki 500 bebek siap bertelur dan 1.000 bebek yang sedang dibarah. Karena dijual lewat koperasi, Kisnarto bisa menjual telur seharga Rp 1.100 per butir.
Berbeda dengan Rawud dan Kisnarto, Darmono (51) dan Taufik Samsudin (35) memilih tidak memelihara bebek barah. Keduanya langsung membeli bebek yang siap bertelur seharga Rp 35.000-Rp 45.000 per ekor. Sebulan setelah dibeli, bebek biasanya sudah bisa bertelur.
”Bebek barah memang enggak dipikirkan pakannya, tapi saya harus membayar orang untuk menggembalakan,” kata Darmono, yang bercita-cita bisa memiliki 20.000 ekor bebek. Hal yang sama dikatakan Taufik. ”Kalau beli meri (anak bebek), saya harus nunggu lama sampai bertelur,” kata Taufik yang juga Sekretaris Kelompok Tani Ternak Maju Jaya.
Yang pasti, dengan usaha ternak bebek, Darmono bisa menyekolahkan dua anaknya hingga lulus di Universitas Mercu Buana, Jakarta. ”Meskipun yang seorang malah pulang ikut ngurus bebek,” katanya tertawa. - 19 April 2009

Sumber :
Susi Ivvaty dan Siwi Nurbiajanti
9 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar